Header Ads Widget

Ticker

6/recent/ticker-posts

Tidak Ada Perceraian Dalam Gereja Katolik. Karena Alasan Ini

Pernikahan Katolik adalah Kudus 

Pernikahan Kristiani adalah suci karena merupakan panggilan dari Tuhan. Oleh karena pernikahan itu suci maka Gereja memasukan pernikahan sebagai salah satu Sakramen dari 7 sakramen gereja. Mengapa disebut sakramen dan apa itu sakramen? Sakramen adalah tanda keselamatan Allah yang diberikan kepada manusia untuk menguduskan manusia, membangun Tubuh Kristus dan akhirnya mempersembahkan ibadat kepada Allah. Maka pernikahan adalah tanda dari Allah untuk menguduskan manusia dalam pernikahan agar bisa ikut membangun Tubuh Kristus yaitu Gereja melalui kelahiran anak dan pada akhirnya ikut mempersembahkan ibadat kepada Allah dengan hidup kita dan melalui anak-anak yang didik sehingga bisa terpanggil menjadi imam, biarawan dan biarawati. Perlu diingat bahwa para suster, bruder, frater, diakon, Imam, Uskup dan Paus berasal dari keluarga maka persembahkanlah anak-anak kepada Tuhan melalui jalan Pendidikan khusus di biara-biara dan seminari-seminari.   

Ada satu pertanyaan menarik di sini. Mengapa pernikahan gereja Katolik begitu rumit? Jawabannya adalah karena hanya terjadi satu kali seumur hidup sampai maut memisahkan. Pernikahan Katolik berlaku hanya untuk satu istri satu suami (Monogami). Pernikahan bisa dilangsukan dua kali jika salah satu pasangan sudah meninggal. Oleh sebab itu gereja harus teliti dan menyiapkan perkawinan dengan sebaik mungkin supaya perkawinan itu awet hingga menua bersama. Maka dalam hukum gereja ada dua sifat perkawinan gereja Katolik yakni monogami dan tak terceraikan. Hal ini mau menunjukan bahwa Gereja mengangkat martabat perkawinan ke level tertinggi menjadi sakramen  karena pernikahan Katolik itu kudus dan   sesuatu yang kudus harus dipelihara dan dirawat dengan iman. Sebagaimana yang disabdakan Tuhan “Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing dan jangan kamu melemparkan mutiaramu kepada babi” (Mat. 7:6).

Sabda Tuhan ini mengingatkan manusia bahwa pernikahan itu suci maka sucikanlah pernikahan itu dengan kesetiaan jangan menodai pernikahan itu dengan melirik orang lain selain yang sudah dikuduskan Tuhan sebab hanya anjing yang bisa melirik semua jenis anjing betina ketika musim kawin tiba. Pernikahan adalah sesuatu yang kudus agar  bisa terbedakan dari anjing. Lalu kesetiaan itu adalah Mutiara yang indah sehingga jangan membuangnya kepada babi. Jadi perselingkuhan itu adalah membuang Mutiara kesetiaan kepada babi dan jelas secantik dan seganteng apa pun selingkuhanmu dia tetaplah babi. Sebagaimana Tuhan katakan, jangan melemparkan Mutiara kesetiaan kepada babi.

Perkawinan Katolik yang sehat adalah dimulai dari tahap pengenalan yakni pacaran. Masa untuk mengenal dengan sungguh sebelum memutuskan untuk membangun keluarga. Jika masa pengenalan digunakan hanya untuk senang-senang, agar bisa dapat pelukan gratis, dan lain-lain secara gratis, maka bahayanya adalah cepat atau lambat badai dan gelombang akan menghantam dan memecah bahtera perkawinan sehingga membuat Tribunal Gereja kelabakan dengan berkas gugatan cerai pasangan-pasangan Katolik yang labil. Tidak ada perceraian di dalam Gereja Katolik yang ada hanyalah anulasi/pembatalan perkawinan. Dan perselingkuhan, mandul dan KDRT bukan jadi alasan perceraian. 

Gereja hanya menganulasi atau membatalkan perkawinan seperti: perkawinan anak adopsi dan anak kadung, pemaksaan, inses atau sedarah, penipuan, impoten dan penculikan. Maka bapa ibu jangan menjadi ayat ini sebagai dalil untuk bercerai. “Aku mengatakan kepadamu bahwa siapa yang menceraikan istrinya, kecuali karena zina, lalu menikah dengan perempuan lain, ia berzina” (Mat 19:9). Sepintas kita melihat ayat ini ada kelonggaran bahwa Yesus mengizinkan perceraian karena ada kata "kecuali karena zina". Perlu diingat bahwa itu ada konteks yang melatarbelakangi penulisan ini. Bahwa zina yang dimaksudkan bukan semata-mata perselingkuhan tetapi berkaitan dengan pernikahan inses/sedarah atau anak sulung dari isteri pertama meniduri isteri termuda ayahnya yang sebaya.

Pada zaman itu poligami adalah hal yang wajar maka yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah bahwa semua jenis perkawinan tidak boleh diceraikan kecuali karena ada perkawinan sedarah atau dengan isteri termuda ayah dan itu adalah juga ibu meskipun bukan ibu kandung. Sehingga bisa kita lihat dalam Perjanjian Lama berikut ini;

“Siapapun di antaramu janganlah menghampiri seorang kerabatnya yang terdekat untuk menyingkapkan auratnya; Akulah TUHAN.  Janganlah kausingkapkan aurat isteri  ayahmu, karena ia hak ayahmu;   dia ibumu, jadi janganlah singkapkan auratnya. Janganlah kausingkapkan aurat seorang isteri   ayahmu, karena ia hak ayahmu.  Mengenai aurat saudaramu perempuan, anak ayahmu atau anak ibumu, baik yang lahir di rumah ayahmu maupun yang lahir di luar,  janganlah kausingkapkan auratnya.  Mengenai aurat anak perempuan dari anakmu laki-laki atau anakmu perempuan, janganlah kausingkapkan auratnya, karena dengan begitu engkau menodai keturunanmu.  

Mengenai aurat anak perempuan dari seorang isteri ayahmu, yang lahir pada ayahmu sendiri, janganlah kausingkapkan auratnya, karena ia saudaramu perempuan.  Janganlah kausingkapkan aurat saudara perempuan ayahmu, karena ia kerabat ayahmu. Janganlah kausingkapkan aurat saudara perempuan   ibumu, karena ia kerabat ibumu.  Janganlah kausingkapkan aurat isteri saudara laki-laki ayahmu, janganlah kauhampiri isterinya, karena ia isteri saudara ayahmu.  Janganlah kausingkapkan aurat menantumu perempuan,   karena ia isteri anakmu laki-laki, maka janganlah kausingkapkan auratnya.   

Janganlah kausingkapkan aurat isteri  saudaramu laki-laki, karena itu hak saudaramu laki-laki.  Janganlah kausingkapkan aurat seorang perempuan dan anaknya perempuan.  Janganlah kauambil anak perempuan dari anaknya laki-laki atau dari anaknya perempuan untuk menyingkapkan auratnya, karena mereka adalah kerabatmu; itulah perbuatan mesum.  Janganlah kauambil seorang perempuan sebagai madu kakaknya   untuk menyingkapkan auratnya di samping kakaknya selama kakaknya itu masih hidup.  Janganlah kauhampiri seorang perempuan pada waktu cemar kainnya   yang menajiskan  untuk menyingkapkan auratnya.  Dan janganlah engkau bersetubuh dengan isteri sesamamu, sehingga engkau menjadi najis dengan dia.  Janganlah kauserahkan seorang dari anak-anakmu untuk dipersembahkan kepada Molokh,  supaya jangan engkau melanggar kekudusan nama Allahmu; Akulah TUHAN.    Janganlah engkau tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan,   karena itu suatu kekejian" (Im. 18:7-22).

Itulah sebabnya Gereja Katolik tidak menganjurkan perceraian kalau alasannya bukan yang tertulis di dalam Imamat ini dan kalau terjadi dengan orang lain maka gereja menganjurkan spiritualitas pengampunan dari kedua pasangan. Oleh sebab itu lambing dari cincin adalah kesetiaan tanpa ujung. Dan pengampunan adalah kunci penting dalam perkawinan bukan sekadar saling mencintai tetapi harus ada sikap saling mengampuni memang jika dalam perjalanan waktu terjadi kejadian serupa. 

"Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia" (Mat. 19:6)


Post a Comment

0 Comments