(Stanislaus Erson)
Mahasiswa Fakultas Filsafat,
Universitas Katolik Widya Mandira Kupang
1.
Pengantar
Dunia saat ini sedang mengalami
krisis global yang menghadapkan manusia pada jurang kehancuran. Misalnya krisis
ekologi telah menyebabkan perubahan iklim dan pemanasan global beserta
akibatnya, resesi pangan, peperangan. Manusia merupakan penyebab utama terjadinya
berbagai peristiwa yang menyebabkan krisis global. Hal ini terjadi akibat
manusia tidak bijak dalam mengelola atau memanfaatkan bumi dan lingkungan
hidup. Dalam keyakinan iman Kristiani, Allah memberikan tugas suci kepada
manusia untuk mengelola bumi beserta isinya. Allah memerintahkan untuk
menguasai bumi dan segala isinya. Dalam pelaksanaannya, manusia mengelola bumi
beserta isinya tidak sesuai dengan perintah dari Allah. Manusia mengelola alam
secara berlebihan dan tidak bertanggung jawab. Hal ini yang menyebabkan
terjadinya kerusakan alam dan lingkungan hidup.
Kerusakan lingkungan hidup
menyebabkan kerusakan stabilitas kelangsungan hidup dari makhluk hidup itu sendiri. Beberapa realitas
peristiwa kerusakan lingkungan yang sering terjadi, seperti penebangan hutan secara liar (deforestasi); pencemaran
udara, air, dan tanah; perburuan liar; buang sampah sembarangan, dll.
Kerusakan-kerusakan ini mengancam punah perkembangbiakan makhluk hidup. Gereja
melihat fenomena-fenomena ini sebagai sesuatu yang berbahaya. Gereja mau
menyelamatkan bumi dan lingkungan hidup dari kerusakan akibat ulah manusia.
Oleh karena itu, Gereja menyerukan pertobatan ekologis. Gereja mengajak umat
manusia untuk menjaga dan melestarikan lingkungan hidup dengan berbagai cara seperti
membuang sampah pada tempatnya, reboisasi hutan, dll. Beberapa Paus, pada
masanya, mengeluarkan dokumen-dokumen yang berbicara tentang pertobatan
ekologis. Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Redemptor Hominis, yang
dikutip dalam ensiklik Laudato Si mengatakan bahwa manusia tidak mampu
melihat makna lain dalam lingkungan alam daripada apa yang berguna untuk segera
dipakai dan dikonsumsi.[1] Hal ini
yang menyebabkan manusia mengelola alam secara berlebihan dan tidak bertanggung
jawab yang mengakibatkan kehancuran dan kerusakan alam dan lingkungan hidup.
2.
Pengertian Ahimsa
Kata ahimsa berasal dari bahasa Sansekerta dari akar kata
“a” yang artinya tidak, dan “himsa”
yang berarti membunuh atau menyakiti.[2] Maka
kata ahimsa berarti tidak membunuh,
atau menyakiti makhluk hidup yang lainnya. Dalam Hinduisme, ahimsa, paham tanpa kekerasan, dipandang
sebagai kebajikan utama yang wajib dijalankan oleh para pemeluknya. Isinya
adalah ajaran untuk menghargai segala bentuk
hidup, khususnya manusia.
Dalam ahimsa, tidak
ada ruang untuk membenci atau menyakiti yang lain
karena semua dipandang sebagai yang memiliki
dimensi spiritual. Bagi
orang lain, ahimsa mungkin dipandang sebagai kelemahan. Namun tidaklah
demikian bagi penganut Hinduisme. Bagi mereka, ahimsa adalah sebuah kekuatan yang tidak terkalahkan yang
bertumpu pada kekuatan
cinta.[3]
Kekuatan untuk mengalahkan
kekerasan dan kejahatan bukan dengan kekerasan, tetapi dengan cinta. Oleh
karena itu, dibutuhkan kesabaran dan kekuatan batin yang mendalam untuk
mempraktikkannya. Hanya orang dengan kesabaran tinggi, kekuatan batin mendalam
dan cinta yang besar yang mampu mewujudkan ahimsa di dalam hidupnya. Demikian, ahimsa, oleh kaum Hindu, dipaham pula sebagai realisasi diri.
Mereka yang berhasil menghidupi dharma ini, akan mampu untuk menahan dan membebaskan diri
terhadap segala himsa dan mampu mencintai segala hal yang ditemuinya dalam
keseharian hidupnya.
Mahatma Gandhi sebagai salah seorang pencinta kedamaian. Ia
memiliki pandangan tersendiri tentang ahimsa.
Pandangannya itu tidak terlepas dari konsep ahimsa
menurut ajaran Hinduisme dan Jainisme. Berlandaskan pada pemahaman ahimsa dari ajaran Hinduisme dan
Jainisme, Gandhi memahami ahimsa
sebagai suatu kekuatan jiwa yang melebihi setiap kekuatan di dunia. Hinduisme
dan Jainisme memahami ahimsa sebagai
kewajiban dan kebajikan yang perlu dipatuhi untuk mencapai realisasi diri dan mokhsa. Sedangkan Gandhi memahami ahimsa sebagai suatu metode perjuangan.
Metode perjuangan untuk membebaskan sesamanya yang tertindas di Afrika Selatan. Metode untuk membebaskan bangsanya dari
penjajahan Inggris dan terutama mencapai kebenaran.[4] Bagi
Gandhi menghentikan pembunuhan adalah sesuatu yang berharga. Ahimsa memiliki
arti yang sangat luas, bukan hanya tidak membunuh, namun ahimsa lebih kepada
dasar dari pencarian kebenaran. Gandhi mengatakan bahwa pencarian kebenaran
tanpa dilandasi dengan ahimsa sebagai dasarnya, maka itu merupakan sebuah
kesombongan. Ahimsa lebih baik jika digunakan untuk melawan dan menyerang
sebuah sistem, tetapi jika digunakan untuk melawan dan menyerang orangnya, maka
itu sama saja dengan menyerang diri sendiri.
3.
Penerapan Konsep Ahimsa
dalam Menghayati
Pertobatan Ekologis
Kata ekologi atau Oecologie dalam bahasa Jerman yang
dicetuskan oleh seorang naturalis bernama Ernst Haeckel pada tahun 1866. Ia
menciptakan kata itu dengan cara menggabungkan oikos, kata Yunani yang berarti rumah dan logos kata Yunani yang berarti ilmu atau berkaitan dengan bidang ilmu
apa saja. Dengan demikian secara harfiah kata ekologi berarti ilmu yang
mempelajari rumah.[5] Awal
mulanya ekologi artinya “ilmu yang mempelajari organisme di tempat tinggalnya”. Pada umumnya, ekologi
artinya ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara organisme atau
kelompok organisme dengang lingkungannya. Saat ini, ekologi lebih dikenal
sebagai ilmu yang mempelajari struktur dan fungsi dari alam. Bahkan ekologi
dikenal sebagai ilmu yang mempelajari rumah tangga makhluk hidup.[6]
Ekologi dikenal sebagai ilmu yang
mempelajari hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan lingkungannya.
Manusia adalah salah satu bagian dari makhluk hidup yang memiliki relasi dengan
lingkungan hidup. Dalam keyakinan iman Kristiani, manusia berasal dari tanah
liat. Allah menciptakan manusia dan menempatkannya di Taman Eden. Selain itu,
Allah juga memberikan kuasa untuk mengatur dan mengelola bumi beserta isinya.
Manusia diberikan hak dan kebebasan untuk menguasai bumi ini. Namun, manusia
kurang mampu dan kurang bijak dalam mengelola dan memanfaatkan alam. Akibatnya,
bumi saat ini sedang menjerit kesakitan karena segala kerusakan yang telah kita
timpakan kepadanya, karena perilaku kita yang kurang bertangungjawab atas
kekayaan yang telah diletakan Allah didalamnya.[7] Oleh karena itu, Gereja
membangunkan kesadaran dalam diri umat manusia dengan menyerukan pertobatan
ekologis. Misalnya kesadaran ekologis yakni setiap makhluk mencerminkan sesuatu
dari Allah dan memiliki pesan untuk disampaikan kepada kita.[8]
Pertobatan ekologis merupakan upaya manusia memandang
lingkungan hidup sebagai bagian dari diri manusia dan menyadari perilakunya
yang kurang bertanggung jawab terhadap alam dan lingkungan hidup. Gereja
berupaya untuk menyadari akan makna dan tujuan Allah memberikan kuasa kepada
manusia untuk menguasai alam, bukan untuk merusakkan alam tapi untuk memelihara
dan merawatnya. Di sini manusia memanfaatkan hasil alam seperlunya dan
sebutuhnya, bukan mengikuti keinginan dan keserakahannya. Memperhatikan kelestarian lingkungan
tidak hanya bermanfaat bagi manusia tetapi untuk hewan dan tumbuh-tumbuhan.
Apabila semuanya terjaga, maka keseimbangan kehidupan makhluk ciptaan berjalan harmonis.
Dalam menghayati pertobatan ekologis
manusia membangun sikap saling menghargai (relasi antar sesama manusia),
memberikan cinta kepada makhluk hidup lainnya, menghargai kehadiran dan
martabat makhluk hidup lainnya. Paus Fransiskus dalam ensikliknya mengatakan
bahwa pertobatan itu perlu menyiratkan berbagai sikap saling menumbuhkan
semangat perlindungan yang murah hati dan penuh kelembutan.[9] Hal ini sesuai dengan konsep
ahimsa dalam kebudayaan India. Konsep ahimsa menggunakan prinsip tanpa
kekerasan, sebagaimana yang dihayati oleh Mahatma Gandhi. Secara harfiah,
ahimsa diartikan sebagai tindakan tanpa kekerasan. Konsep ini tidak hanya
sebatas tindakan tanpa kekerasan. Dia memiliki makna yang lebih luas dari itu.
Gandhi menjelaskan bahwa ahimsa berarti tidak menyakiti insan manapun, baik
melalui pikiran, ucapan dan tindakan, dan tindakan kekerasan lainnya.[10]
Menurut Gandhi, ahimsa itu memiliki
makna yang luas sekali serta tidak terukur jangkauannya. Ia mengatakan bahwa
sebenarnya ahimsa itu berarti tidak boleh menyinggung perasaan siapa pun, tidak
boleh mempunyai pikiran yang buruk walaupun terhadap orang yang mungkin
menganggap dirinya musuh kita.[11]
Pertobatan ekologis dalam konsep ahimsa menyadarkan manusia untuk
menghargai makhluk hidup, tidak menyakiti mereka dan mengakui keberadaan mereka
di bumi ini. Masing-masing makhluk hidup mempunyai cara tersendiri untuk
mempertahankan hidup. Penerapan konsep ahimsa
dalam pertobatan ekologis
menyadarkan manusia untuk menghargai perjuangan mereka untuk mempertahankan hidup.
4.
Kesimpulan
Penerapan konsep ahimsa dalam pertobatan ekologis
membantu manusia agar mampu melihat sesuatu atau makna lain dari alam dan
lingkungan hidup. Konsep ahimsa
menerapkan prinsip tanpa kekerasan, menghargai dan tidak menyakiti yang lain.
Demikian juga dalam menghayati pertobatan ekologis manusia diajak untuk melihat
alam dan lingkungan hidup sebagai sesuatu yang berharga, sesuatu yang bernilai
baik dalam dirinya maupun bagi makhluk-makhluk lainnya terutama bagi manusia
itu sendiri. Alam dan lingkungan hidup memiliki manfaat bagi kelangsungan hidup
manusia, maka selayaknya manusia memperlakukan alam dan lingkungan hidup
seperti dirinya.
Konsep ahimsa mengajarkan manusia untuk mencintai alam dan lingkungan
hidup. alam dan lingkungan hidup memberikan manusia jaminan hidup, maka tugas
manusia adalah menjaga dan merawat alam agar manusia juga dapat bertahan hidup.
Penerapan konsep ahimsa dalam
menghayati pertobatan ekologis mau mengungkapkan bahwa relasi manusia dan alam
merupakan relasi ketersalingan, saling membutuhkan. Oleh karena itu, manusia
semestinya menjaga dan merawat lingkungan hidup dengan baik agar tercipta suatu
relasi yang harmonis di antara sesama makhluk hidup.
[1] Paus Fransiskus, Laudato Si (24 Mei 2015), dalam Seri
dokumen Gerejawi 98 (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2016),
no. 5. Kutipan selanjutnya digunakan singkatan
LS disertai nomor ensiklik.
[2] Bang Sin, Pengertian
Ahimsa, Satya, dan Tat Tvam Asi, dalam https://www.mutiarahindu.com/2019/12/pengertian-ahimsa-satya-dan-tat-tvam-asi.html, diakses pada 21 Juni
2023, pukul 08:50.
[3] Delviano Gregorius
Kapele dan Barnabas Ohoiwutun, Konsep Ahimsa Menurut Mahatma Gandhi dan
Relevansinya Dalam Komunikasi Manusia Masa Kini: Sebuah Kajian Filsafat,
dalam Seri Mitra: Refleksi Ilmiah-Pastoral, Vol. 2, No. 1, Januari 2023, hal.
37.
[4] Ibid. hal. 38.
[5] David Burnie, Bengkel
Ilmu Ekologi, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005), hal. 6.
[6] Dr. Suyud Warno Utomo,
M. Si., dkk., Modul Ekologi, hal. 1.2.
[7] LS., no. 2
[8] LS., no. 221.
[9] LS., no. 220.
[10] Wahyu Iryana, dkk.,
Refleksi Ajaran Ahimsa Mahatma Gandhi, dalam Guna Widya Jurnal Pendidikan
Hindu, vol. 9, No. 2, September 2022, hal. 189.
[11] Ibid.
0 Comments