lensa Timor |
Surat
larangan Hel keta yang dikeluarkan
oleh Mgr. Dominikus Saku, Uskup Atambua, 5 Februari 2022 lalu belum basih dari
perbincangan publik. Surat tersebut beredar di media sosial 7 Februari
2022 dan mengagetkan para penghayat tradisi Hel keta bak disambar petir di siang bolong lantaran tradisi itu
sudah diyakini sebagai warisan budaya Timor turun temurun yang mesti dilalui sebelum
melangsungkan pernikahan secara gerejawi. Beragam komentar miring bermunculan
memojokan Yang Mulia sebab dinilai prematur dalam mengeluarkan surat larangan
itu.
Para
pencinta budaya Timor mulai dari kaum intelektual hingga akar rumput, turut
meramaikan media sosial dengan postingan-postingan baik yang mendukung maupun
yang menolak surat tersebut hingga akhirnya Mgr Domi Saku membuka suara melalui zoom bersama para pemerhati budaya
Timor dan kaum intelektual pada 13 Februari 2022 lalu. Kurang lebih Yang Mulia
mengutarakan latar belakang dikeluarkannya surat ini dengan sangat baik dan dapat
dimengerti kendati, beberapa pihak merasa dirugikan sebab ulasan tersebut tidak
sesuai dengan keinginan mereka.
Ada
dua catatan dari Bapa Uskup terkait isi surat larangan hel keta. Catatan pertama hel keta dilaksanakan pada hari minggu.
Menurut Bapa Uskup, jika hel keta
dilaksanakan pada hari minggu hanya karena para pegawai libur maka bapa Uskup
melihat ini bisa mengganggu praksis iman. Catatan yang kedua adalah bahwa pada 30 September 2021 saat berjumpa dengan salah
satu Bupati dan Bapa Uskup meminta agar suatu waktu hel keta dilarang karena sudah menarik orang lebih banyak serta
warga dari daerah lain pun diikutsertakan dalam ritual ini yang mereka tidak
kenal dan Bapa Uskup melihat bahwa seolah-olah anak-anak yang ingin menikah di
Timor membawa perang.
Bapa
Uskup melihat pernikahan sebagai upaya penyatuan keluarga besar dan jika hel keta ini diteruskan maka kita
membuat pemisahan dan kemudian disatukan lagi di dalam tradisi hel keta. Bapa Uskup juga sudah berbicara dengan salah satu tokoh
adat dari TTU dan tokoh adat tersebut mengatakan bahwa praktek hel keta saat ini sudah berubah dan
membingungkan selanjutnya tua adat menjelaskan bahwa tidak perlu lagi dibuat
ritual hel keta sebab sudah ada jalan
yang terbuka. Namun suku di Eban dan Ambeno bisa melakukannya jika suatu waktu
terjadi pernikahan di antara mereka. Dan Bapa Uskup juga mengatakan bahwa
memang dahulu leluhur TTU dan Belu Selatan terlibat perang namun dalam Hase
Hawaka (Natoni) tidak lagi disinggung tentang perang itu maka Bapa Uskup berupaya untuk membebaskan
generasi selanjutnya dari tuntutan Hel
keta agar berjuang di pasar global yang semakin sulit dalam hal ekonomi
terutama di masa pandemi Covid-19.
Kurang
lebih hal-hal di atas menjadi latar belakang surat larang Hel Keta ini dikeluarkan. Namun dari penjelasan Bapa Uskup, Hel Keta tidak ditiadakan secara mutlak
namun dikondisikan dengan situasi suku di mana mereka berada. Akan tetapi dunia
kita semakin terbuka dan ingatan akan perang di masa lampau sudah tidak
berpengaruh lagi di generasi yang akan datang namun sejauh berpengaruh pada
pernikahan bisa dilakukan tetapi tidak wajib.
Perang Suku dan Tradisi Ketu Nakaf
Sebelum
Bangsa Eropa menjejakkan kaki di Timor abad XVI, perang suku sudah berlangsung.
Perluasan wilayah kerajaan pun dilakukan dengan berperang untuk mengalahkan
suku-suku yang melawan. Dinasti Sonbai menjadi kerajaan terkuat di Timor yang
berhasil merebut wilayah suku Helong (Lahi Lai Bisi Kopan) abad 17. Perang suku merupakan
perang antarraja untuk mempertahankan eksistensi di wilayah mereka. Memasuki
abad 18, wilayah Kupang perlahan dikuasai Belanda dan pertahanan Sonbai melemah
hingga Belanda berhasil menangkap Raja Sobe Sonbai III yang wafat pada 20
September 1922.
Timor
Barat selain ditakuti karena keperkasaan suku-sukunya Timor juga ditakuti oleh
orang Belanda karena demamnya yang terkenal yakni demam Timor yang melegenda. Orang-orang Timor pada zaman itu menghadapi
dua realitas yang sama-sama menakutkan yakni perang suku dengan berburu kepala
dan demam Timor yang dianggap sebagai neraka sekaligus liang lahat. “Timor ligt aan de overkant van het gaf”
Timor terletak di seberang liang kubur (I.H.Doko, Timor, Pulau Gunung Fatuleu hlm. 15). Bagi orang Belanda, bertugas di Timor berarti siap untuk mati entah
dibunuh dan dipenggal kepala (ketu nakaf)
oleh suku asli atau mati karena demam.
Salah
satu orang Belanda yang berani melawan tantangan ketu nakaf dan demam Timor adalah Pendeta Pieter Middlekoop yang
memilih untuk menembus rimba dan pedalaman Timor untuk berkarya mewartakan
Injil dan kemudian memilih untuk menetap di Kapan, TTS. Sambil mewartakan
Injil, Pdt Middlekoop mempelajari kebudayaan Timor dan satu maha karyanya yang
cukup terkenal adalah tulisan tentang perang suku dan perburuan kepala manusia
selama perang berlangsung.
Meski
Injil sudah masuk di pedalaman Timor, perang suku dengan memotong kepala masih
menjadi tradisi dan kebiasaan suku-suku primitif Timor. Berkat kegigihannya
untuk menginjil, ia berhasil merekam kebiasaan berburu kepala manusia dalam
tulisannya yang berjudul Head hunting in
Timor and its Historycal Implications atau Berburu Kepala (manusia) di
Timor dan implikasi sejarahnya. Karyanya
ini dipublikasikan di Australia tahun 1963 yang terdiri dari tiga jilid
(Andreas Tefa Sau:184).
Tulisan
ini menggambarkan keadaan suku-suku primitif Timor yang masih mengandalkan
perang suku daripada berjuang untuk mengusir penjajah. Keadaan seperti ini
menjadi momentum bagi penjajah untuk terus menguasi Timor dengan rentang waktu
yang sangat lama namun hal ini tidak disadari. Suku-suku tidak bersatu untuk
memerangi penjajah tetapi mereka saling berperang.
Perang
suku di Timor terus berlanjut dengan merebut tanah dan perbatasan. Melihat
fenomena perang suku yang menguat kala itu, pernikahan pun mendapat imbasnya.
Lantaran permusuhan sesama suku yang kalah perang dan prajurit yang tewas
dipenggal kepala dan diaraa ke rumah adat untuk disorak-soraikan menjadi duka
dan luka yang mendalam bagi suku lain dan suku yang kalah perang mengadakan Lasi Bata atau sumpah adat untuk tidak
bergaul dengan suku yang telah mengalahkan mereka dalam perang.
Seoarang ketua suku di pedalaman Timor berpose pada 1910: NTT dalam Sejarah |
Pernikahan Bife Panaf Ma Moen Panaf
Lasi Bata atau sumpah adat suku
yang terlibat perang dan kalah berpengaruh pada pernikahan anggota suku. Untuk
menghindari kutukan dari lasi bata,
maka pernikahan pun terjadi di dalam kampung atau suku sendiri dengan cara
menikahi anak om atau putri dari Atoen
Amaf. Pernikahan ini sah secara adat demi keberlangsungan keturunan suku
dari kepunahan sehingga cukup tenaga untuk menahan gempuran suku-suku lain yang
ingin merebut tanah ulayat mereka.
Pernikahan
ini dikenal dengan bife panaf dan moen panaf atau di dalam bahasa
Manggarai Rona Tungku dan Wina Tungku yakni isteri dan suami
rumah. Pernikahan di dalam keluarga ini menjadi hal yang lazim di Timor pada
masa perang antarsuku. Keluarga besar mengurus dan menikahkan secara adat
kendati gereja sudah masuk namun kehidupan suku masih menguat. Pengaruh gereja
di dalam suku-suku adalah penanaman prinsip monogami dalam perkawinan sehingga
pernikahan hanya satu isteri dan satu suami.
Akan
tetapi pernikahan Bife Panaf dan Moen
Panaf tidak sesuai dengan ajaran gereja. Sebab pernikahan tersebut masih
terhalangi oleh hubungan darah sebagaimana yang telah diatur di dalam KHK
1983 Kanon 1091 §1-§4. Maka ketika masa perang suku telah selesai, relasi
sosial semakin terbuka, pengaruh gereja sudah meluas maka pernikahan Bife dan Moen Panaf pun ditinggalkan.
Situasi Damai Pasca Pewartaan Injil
dan Kemerdekaan
Pada
era Pemeritahan Hindia Belanda, wilayah-wilayah
kerajaan di Timor dibagi ke dalam beberapa wilayah administrasi dengan susunan
sebagai berikut; Onderafdeeling,
Afdeling, Swapraja, Kefektoran
dan Ketemenggungann ( Temukung Besar: Temukung Naek dan Temukung Kecil: Temukung ana). Pembentukan wilayah admininistrasi ini bertujuan
untuk mempermudah kontrol pemerintahan Hinda Belanda atas suku-suku Timor.
Untuk wilayah Timor Tengah Utara, Pemerintah Hindia Belanda membaginya ke dalam
tiga Swapraja yakni Biboki, Insana dan Miomaffo ( Biinmaffo).
Dari
ketiga Swapraja di TTU terdapat 182 Ketemukungan. Dalam menjalankan tugasnya sebagai pembantu Fektor, seorang Temukung dibantu oleh pembantu Temukung
(Nakaf) dan seorang Mafefa /Mahana (juru bicara). Ketemukungan
yang membawahi beberapa Mnasi atau Amnasit (Tua Adat) memiliki peran dan
kedudukan yang sangat strategis karena pemerintaham level terendah ini diberi
kewenangan untuk langsung mengurus masyarakat.
Seiring
berjalannya waktu, setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945,
daerah-daerah administrasi bentukan Hindia Belanda diubah ke sistem
pemerintahan baru Indonesia. Wilayah administratif Onderafdeeling, dibubah menjadi provinsi, Afdeling, menjadi kabupaten Swapraja, menjadi kecamatan Kefektoran menjadi sub kampung dan Ketemenggungan menjadi desa. Setelah
pembagian daerah administasi pemerintahan sebagaimana yang kita kenal saat ini,
keadaan suku-suku di Timor semakin membaik dan semua roda pemerintahan
dikontrol oleh negara dan bukan lagi oleh kepala suku, usif, tamukung dan fetor.
Perubahan
ini turut mempengaruhi kehidupan sosial suku-suku di Timor, sehingga relasi
sosial semakin terbuka dan hubungan asmara para generasi kemudian tidak lagi
terikat dengan pernikahan sesama suku tetapi sudah keluar dari lingkaran kampung
dan sukunya. Kendati sudah tidak lagi terhalangi oleh hukum gereja soal
perkawinan, namun masyarakat Timor mendapat tantangan baru dalam pernikahan.
Tantangan
yang dialami oleh keluarga Timor adalah kematian anak-anak, hasil panen yang
gagal, kematian ternak dan cecok dalam rumah tangga. Melihat fenomena ini,
keluarga besar berkumpul untuk mengadakan tradisi Nonot dan Mnenut. Nonot dan mnenut adalah kebiasaan keluarga besar kedua mempelai menarik garis
keturunan lalu meluruskan dan mnenut
tersebut kedua keluarga akan menuturkan asal-usul suku dan juga suka-suku yang
pernah mengadakan lasi bata (sumpah)
di masa lampau. Dalam Mnenut/hel keta,
nama-nama leluhur disebut agar dari alam baka mereka bisa melepaskan sekat (lasi bata) agar kedua mempelai bisa
hidup aman dan harmonis di dalam rumah tangga.
Namun fenomena yang berkembang kemudian, orang melihat Hel keta sebagai sesuatu yang wajib dilalui terlebih dahulu agar malapetaka tidak terjadi di dalam keluarga sebagaimana yang tejadi pada beberapa kasus sebelumnya (tidak semua) sebelum menikah secara sakramen. Hel keta sejatinya hanya keluarga inti bersama penutur adat agar meluruskan kembali relasi sembari menarik kembali sumpah adat yang pernah diucapkan. Dengan ini kita sudah bisa memahami makna sesungguhnya dari hel keta dan kepada siapa hel keta ini dilakukan. Tidak semua suku wajib melakukan hel keta kecuali suku-suku tertentu yang tidak memiliki relasi perkawinan (Eban dan Ambeno) namun anak-anak mereka menikah dan ini perlu sebab masih terhalangi lasi bata(*)
0 Comments