Hubert Eko Setiawan
Indonesia yang kini memasuki revolusi 4.0 telah
mendatangkan banyak keuntungan. Digitalisasi berkembang dalam semua lini
kehidupan. Konsekuensinya jelas, semua pekerjaan dipermudah. Akses informasi
lebih cepat, demokrasi dapat dikontrol seluas-luasnya, publik menjadi
panoptikon birokrasi, merdeka belajar menjadi trend, dan aneka
kemajuan lainya yang tidak sempat disebutkan. Alhasil semua pekerjaan
dipermudah. Sebagai seorang mahasiswa, penulis lebih tertarik untuk menyoroti
posisi pendidikan dalam kancah revolusi industri, khususnya pendidikan dalam
prespektif filosofis Noam Chomsky.
Sejak zaman klasik, buku menjadi akses
pengetahuan dan penggerak roda peradaban. Orang bahkan rela untuk menyalin
karya seseorang secara manual demi mengembangkan pengetahuan. Misalnya, karya
Aristoteles yang kemudian disalin oleh para cendikiawan Muslim kemudian dibawa
masuk lagi ke Eropa. Era digitalisasi menendang jauh kebiasaan itu sekaligus
menghadirkan “kemajuan”. Semua sumber pengetahuan tertumpah ruah. Orang dapat
mengakses sumber pengetahuan dari piranti-piranti media digital, seperti Google,
Chat Gpt, Youtube, Tik tok, Twitter, dan lain sebagainya. Bahkan ada
beberapa aplikasi yang dapat meringkas buku-buku tebal atau artikel yang
panjang. Dengan demikian waktu membaca pun dipersingkat dan lebih
proporsional. Seandainya kemajuan semacam ini sudah terjadi pada zaman Yunani
Klasik, pengetahuan dan peradaban manusia barangkali sudah sangat maju. Sudakah
Pendidikan menjadi “wahana intelektual” yang dapat dinikmati secara layak dan
pantas oleh generasi muda Bangsa ini?
Avram Noam Chomsky, Ahli teori
linguistik dan penulis politik mendefinisikan pandangannya tentang pendidikan
di era “pencerahan”, di mana “tujuan tertinggi hidup untuk bertanya dan
mencipta. Sedangkan tujuan pendidikan adalah menolong masyarakat untuk belajar
mengenai dirinya sendiri. Kamu adalah pelajar bagaimana mencapai ilmu di
pendidikan dan terserah kamu menentukan bagimana kamu memahami dan
menggunakannya”.
Pendidikan Manusia-Manusia Bebas
Chomsky mengajak kita kembali mengingat tujuan utama
pendidikan, yakni menghasilkan manusia-manusia yang bebas, yang mampu
berhubungan satu sama lain dalam situasi dan kondisi yang setara. Maka dapatlah
dikatakan, bahwa pendidikan adalah suatu proses produksi, namun bukanlah
produksi barang-barang dengan cetakan ketat yang telah ditentukan sebelumnya,
melainkan produksi manusia-manusia bebas. Di sisi lain, Chomsky juga mengutip
pendapat Bertrand Russell, seorang filsuf besar asal Inggris di awal abad
keduapuluh lalu, tentang pendidikan. Baginya, pendidikan adalah suatu proses
untuk memberi makna dari segala sesuatu, dan bukan untuk menguasainya (manusia
dan alam). Pendidikan juga adalah proses untuk menciptakan warga negara yang
bijak dan masyarakat yang bebas (wise citizens and free society). Dalam
arti ini, menurut Russell, sebagaimana dibaca oleh Chomsky, kebijaksanaan
publik seorang warga negara mencakup dua hal, yakni kepatuhan pada hukum
seorang warga negara pada hukum di satu sisi, dan kreativitas individu dalam
berkarya serta mencipta ulang hidupnya di sisi lain. Kedua aspek ini harus
berjalan seimbang dan dinamis.
Analogi yang diberikan Russell adalah, bagaikan seorang
tukang kebun (guru dan masyarakat) merawat tanaman yang indah (siswa dan siswi)
yang dilihat sebagai sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri, dan
memberikannya pupuk yang menyuburkan, air, serta sinar matahari yang
menumbuhkan. Inilah yang disebut Chomsky, dengan mengutip Dewey dan Russell,
sebagai paradigma humanistik dalam pendidikan (humanistic paradigm in
education). Akar dari paradigma ini, menurutnya, adalah tradisi filsafat
pencerahan (enlightenment philosophy) yang melihat manusia subyek yang
bebas dan berpikir (free and thinking subject).
Dalam konteks ini, pendidikan bukanlah seperti mengisi
ember dengan air sampai penuh, seperti mengisi kepala peserta didik sampai
penuh, melainkan bagaikan menemani sebuah tanaman, sampai ia bisa berkembang
sesuai dengan jati diri tanaman tersebut, seperti menemani peserta didik,
sehingga ia bisa berkembang sesuai dengan jati dirinya. “Dengan kata lain,”
demikian tulis Chomsky, “(tujuan pendidikan-Reza) adalah untuk menciptakan
situasi-situasi yang memungkinkan pola-pola kreatif yang normal bisa
bertumbuhkembang dengan baik.” Dalam bahasa yang lebih lugas, tujuan pendidikan
adalah menciptakan situasi yang memadai, sehingga kreativitas bisa bertumbuh di
berbagai bidang, terutama dalam diri peserta didik yang notabene adalah
anak-anak kita juga. Jika sistem pendidikan kita di Indonesia memahami dan
memeluk paradigma pendidikan humanistik ini, menerapkannya dalam kurikulum dan
kebijakan pendidikan nasional, serta memastikan pelaksanaannya dengan baik,
maka bangsa kita, menurut saya, sejalan dengan pemikiran Chomsky, bisa
menciptakan manusia-manusia yang terbebas dari pola pikir menguasai (dominasi)
dan mengumpulkan harta serta kuasa semata. Yang ada kemudian, sebagai hasil
dari sistem pendidikan humanistik yang (andaikan) telah kita ciptakan, adalah
manusia-manusia yang fokus hidupnya adalah menciptakan hubungan-hubungan yang
setara antar manusia, kerjasama lintas suku, agama, dan ras, mampu dan mau
berbagi, serta berpartisipasi untuk menciptakan kebaikan bersama secara
demokratis.
Sekarang ini, di Indonesia, dan di seluruh dunia, pada hemat saya, paradigma pendidikan yang digunakan adalah paradigma dominasi dan kompetisi (competitive and dominating paradigm). Artinya, segala sesuatu harus dilombakan, dan pemenang bisa mendapatkan segalanya, mulai dari uang, kekuasaan, dan, tentu saja, kenikmatan tanpa batas. Dalam bahasa Adam Smith, sebagaimana dikutip oleh Chomsky, yakni pendidikan yang menjadikan manusia sebagai penguasa dari manusia lainnya, yang rakus, serta tidak ingin memberikan apapun untuk siapapun, kecuali itu memberikan keuntungan pada dirinya. Sadar atau tidak, pola berpikir inilah yang kita kembangkan di dalam sistem pendidikan kita di Indonesia, dan kita tanamkan secara sistematik serta represif pada generasi berikutnya.
Referensi
·
Saragih
Hisarma, Stimson Hutagalung, Filsafat Pendidikan, (Yayasan Kita Menulis:
2021).
·
Wattimena,
Reza Alexander Antonius, Jurnal Filsafat, Pendidikan Manusia-Manusia
Demokratis Filsafat Pendidikan Noam Chomsky Relevansi Serta Keterbatasannya
Pada Konteks Indonesia, Vol.2, hlm 154-155.
· Wardaya, Baskara, Bung Karno Menggugat, Galang Press, Yogyakarta,
2009
· Garland, Christian, International Encyclopedia of Revolution
and Protest, Immanuel Ness, ed., Blackwell Publishing, 2009.
·
Wattimena,
Reza Alexander Antonius, Jurnal Filsafat “Pendidikan Filsafat Untuk Anak”, Vol:
4, hlm. 114.
·
Biografi
Noam Chomsky, Penulis dan Bapak Linguistik Modern (greelane.com). Diakses pada Sabtu, 20 Mei 2023, Pukul: 18.27 WITA.
0 Comments